Sapardi Djoko Damono


PENYAIR

Aku telah terbuka perlahan-lahan,seperti sebuah pintu,bagiku
satu per satu aku terbuka,bagai daun-daun pintu,
hingga akhirnya tak ada apa-apa lagi yang bernama rahasia;
begitu sederhana: sama sekali terbuka.

Dan engkau akan selalu menjumpai dirimu sendiri di sana
bersih dan telanjang,tanpa asap dan tirai bernama
 rahasia.
Jangan terkejut: memang dirimu sendirilah yang kau jumpa
di pintu yang terbuka itu,begitu sederhana
Jangan gelisah, itulah tak lain engkaumu sendiri,
kenyataan yang paling sederhana tapi barangkali yang
menyakitkan hati
Aku akan selalu terbuka, seperti sebuah pintu, lebar-lebar
 bagimu
Dan engkaupun masuk,untuk mengenal dirimu sendiri di
sana
(sapardi djoko damono,Tonggak 2 hlm. 408-409)

KEPADA SEBUAH SAJAK

Dengan rendah hati kuserahkan kau kepada dunia
Sebab bukan lagi milikku.Tegaklah
bagai seorang lelaki yang lahir dalam zaman
yang riuh rendah
dan memberontak
kulepas kau ke tengah pusaran topan
dari masalah manusia, sebab telah dilahrkan
tanpa ayah dan ibu
dari jemariku yang papa
kaupun menjelma secara gaib wahai nurani alam
aku bukan asal usulmu. Kutolakkan kepada dunia
nama baik serta nasibmu
aku tak lagi berurusan denganmu
sekali kau lahir lewat tangan-tanganku,tegaklah
seperti lelaki yang tanpa ibu-bapa
mempertahankan nasibnya sendiri
terhadap gergaji waktu

(sapardi djoko damono,Tonggak 2 hlm. 409)


SAJAK 2

Telaga dan sungai itu kulipat dan kusimpan kembali
Dalam urat nadiku. Hutanpun gundul. Demikianlah maka
Kawanan kijang itu tak mau lagi tinggal diam sajak-sajakku
Sebab kata-kata di dalamnya berujud anak panah yang
Dilepas oleh Rama

Demikianlah maka burung-burung betah lagi,karena
di dalamnya
tak ada lagi tersisa ruang .Tinggal beberapa orang pemburu
yang terpisah dari anjing mereka menyusur jejak darah,
membalikkan dan menggeser setiap huruf kata-kataku,
mencari binatang korbanyang terluka pembuluh
darahnya itu.

(sapardi djoko damono,dari : Akuarium)
SAAT SEBELUM BERANGKAT

Mengapa kita masih juga bercakap
Hari hamper gelap
Menyekap beribu kata di antara karangan bunga
Di ruang semakin maya,dunia puranama

Sampai tak ada yang sempat bertanya
Mengapa musim tiba-tiba reda
Kita dimana. Waktu seorang bertahan di sini
Di luar para pengiring jenazah menanti
(sapardi djoko damono,dari kumpulan puisi: DukaMu Abadi)

BERJALAN DI BELAKANG JENAZAH

Berjalan di belakang jenazah anginpun reda
Jam mengerdip
Tak terduga betapa lekas
Siang menepi,melapangkan jalan dunia

Di samping: pohon demi pohon menundukkan kepala
Di atas: matahari kita,matahari itu juga
Jam mengambang di antaranya
Tak terduga begitu kosong waktu menghirupnya

(sapardi djoko damono,dari kumpulan puisi: DukaMu Abadi)


SEHABIS MENGANTAR JENAZAH

Masih adakah yang kau tanyakan
tentang hal itu?Hujan pun selesai
sewaktu tertimbun sebuah dunia yang tak habis bercakap
di bawah bunga-bunga menua,musim yang senja

pulanglah dengan paung di tangan,tertutup
anak-anak kembali bermain di jalanan basah
seperti dalam mimpi kuda-kuda meringkik di bukit-bukit jauh
barangkali kita tak perlu tua dalam tanda tanya

masih adakah! Alangkah angkuhnya langit
alangkah angkuhnya pintu yang akan menerima kita
seluruhnya,seluruhnya kecuali kenangan
pada sebuah gua yang menjadi sepi tiba-tiba
(sapardi djoko damono,dari kumpulan puisi: DukaMu Abadi)


LANSKAP

Sepasang burung ,jalur-jalur kawat,langit semakin tua
Waktu hari hampir gelap,menunggu senja
Putih,kitapun putih memandangnya setia
Sampai habis semua senja
(sapardi djoko damono,dari kumpulan puisi: DukaMu Abadi)


SONET: HEI! JANGAN KAUPATAHKAN

Hei! Jangan kaupatahkan kuntum bunga itu
Ia sedang mengembang; bergoyang dahan-dahannya yang tua
Yang telah mengenal baik ,kau tahu,
Segala perubahan cuaca.

Bayangkan: akar-akar yang sabar menyusup dan menjalar
Hujan pun turun setiap bumi hampir hangus terbakar
Dan mekarlah bunga itu perlahan-lahan
Dengan gaib, dari rahim Alam.

Jangan; saksikan saja dengan teliti
Bagaimana Matahari memulasnya warna-warni sambil diam-diam
Membunuhnya dengan hati-hati sekali
Dalam kasih sayang,dalam rindu dendam alam
Lihat; ia pun terkulai pelahan-lahan
Dengan indah sekali, tanpa satu keluhan
(sapardi djoko damono,dari kumpulan puisi: DukaMu Abadi)

TELINGA

“masuklah ke telingaku,bujuknya.
Gila:
Ia digoda masuk ke telinganya sendiri
Agar bisa mendengar apa pun
Secara terperinci~ setiap kata,setiap huruf,
Bahkan letupan dan desis
Yang menciptakan suara.
“masuklah,”bujuknya.
Gila! Hanya agar bisa menafsirkan sebaik-
Baiknya apapun yang dibisikkannya
Kepada diri sendiri
(dari : hujan bulan juni,hlm.87)







AKU INGIN

aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu

aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada


1989

Sumber:
Horison Sastra Indonesia 1 Kitab Puisi, Taufiq Ismail dkk (ed.), Jakarta 2002.


----------------------------------------------------

KEPADA ULLY SIGAR

hutan itu gericik air dari bukit sana
bermuara di gelas dan cangkir kita
hutan itu desau udara melintas cakrawala
lewat paru-paru dan pori-pori kita

hutan itu tempat tinggal Adam kakek kita
terlempar dari surga; kita ke sana, Saudara


1985

Sumber:
Mata Jendela, Indonesiatera, cetakan pertama, 2001.



----------------------------------------------------

KUKIRIMKAN PADAMU

kukirimkan padamu kartu pos bergambar, istriku,
par avion: sebuah taman kota, rumputan
dan bunga-bunga, bangku ddan beberapa
orang tua, burung-burung merpati
dan langit yang entah
batasnya.

aku, tentu saja, tak ada di antara
mereka. Namun ada


1978

Sumber:
Mata Jendela, Indonesiatera, cetakan pertama, 2001.



----------------------------------------------------

AIR SELOKAN

.....“Air yang di selokan itu mengalir dari rumah sakit,”
katamu pada suatu hari Minggu pagi. Waktu itu kau
berjalan-jalan bersama istrimu yang sedang mengandung –
ia hampir muntah karena bau sengit itu.
.....Dulu di selokan itu mengalir pula air yang
digunakan untuk memandikanmu waktu kau lahir: campur
darah dan amis baunya.
.....Kabarnya kemarin sore mereka sibuk memandikan
mayat di kamar mati.

.....Senja ini ketika dua orang anak sedang berak di tepi
selokan itu, salah seorang tiba-tiba berdiri dan menuding
sesuatu: “Hore, ada nyawa lagi terapung-apung di air itu –
alangkah indahnya!” Tapi kau tak mungkin lagi
menyaksikan yang berkilau-kilauan hanyut di air yang anyir
baunya itu, sayang sekali.


1978

Sumber:
Mata Jendela, Indonesiatera, cetakan pertama, 2001.



----------------------------------------------------

NOKTURNO

kubiarkan cahaya bintang memilikimu
kubiarkan angin, yang pucat dan tak habis-habisnya
gelisah, tiba-tiba menjelma isyarat, menjemputmu –
entah kapan kau bisa kutangkap


1972

Sumber:
Mata Jendela, Indonesiatera, cetakan pertama, 2001.



----------------------------------------------------

SEBUAH TAMAN SORE HARI

dari sayap-sayap burung kecil itu
berguguran sepi, sepiku
saat terhenti di sebuah taman kota ini
daun jatuh di atas bangku, bagai mimpi

di antara datang dan suatu kali pergi
beribu lonceng berbunyi
kekal sewaktu bercakap kepada hati
lalu kepada bumi. Di sini aku menanti


1967

Sumber:
Mata Jendela, Indonesiatera, cetakan pertama, 2001.


----------------------------------------------------

SAJAK PUTIH

beribu saat dalam kenangan
surut perlahan
kita dengarkan bumi menerima tanpa mengaduh
sewaktu detik pun jatuh

kita dengar bumi yang tua dalam setia
Kasih tanpa suara
sewaktu bayang-bayang kita memanjang
mengabur batas ruang

kita pun bisu tersekat dalam pesona
sewaktu Ia memanggil-manggil
sewaktu Kata membuat kita begitu terpencil
di luar cuaca


1967

Sumber:
Mata Jendela, Indonesiatera, cetakan pertama, 2001.



----------------------------------------------------

PROLOGUE

masih terdengar sampai di sini
duka-Mu abadi. Malam pun sesaat terhenti
sewaktu dingin pun terdiam, di luar
langit yang membayang samar

kueja setia, semua pun yang sempat tiba
sehabis menempuh ladang Kain dan bukit Golghota
sehabis meyekap beribu kata, di sini
di rongga-rongga yang mengecil ini

kusapa duka-Mu jua, yang dahulu
yang meniupkan zarah ruang dan waktu
yang capai menyusun Huruf. Dan terbaca:
sepi manusia, jelaga


1967

Sumber:
Mata Jendela, Indonesiatera, cetakan pertama, 2001.



----------------------------------------------------

MENGALIRLAH, SUNGAI

mengalirlah, sungai, tenang ke lautmu
waktu tegak aku di sini dalam warna biru
Siapa berkata: lihatlah
cuaca bersiap. Kabut terdengar menuruni lembah...

waktu seseorang sudah lupa menunggu
kabar pun sampai, angin tiba-tiba mengambang di atasmu
hanyutkan, sungai, beribu kata, lagu, dan tanda mata
yang tak sempat dialamatkan kepada Dunia


1967

Sumber:
Mata Jendela, Indonesiatera, cetakan pertama, 2001.



----------------------------------------------------

SELAMAT TINGGAL, KUCIUM

selamat tinggal. kucium udara jakarta yang bagai gambar abstrak,
kemerlap kembali di bawah bulu-bulu mataku:
matahari, debu, bintang, hujan, laut. tunggu sejenak,
biarlah terbawa segala yang paling dekat dengan hatiku

berhenti: suara, warna, cahya, udara. selamat tinggal,
segala yang berurusan langsung dengan sajak-sajakku;
terlalu sederhana arti sebuah kata, bayang-bayang dalam hujan,
jala kawat listrik, laut yang tercium sampai ke rabu

kemarin telah dipisahkan dari setiap orang: apakah yang terbawa
sehabis sebuah perjalanan, menolak dan menerima,
teringat dan lupa, setia dan tak setia kepada diri sendiri;
aku hanya bisa bercinta dengan yang paling dekat ke hati,
kucium udara jakarta yang sunyi, rindu, gelisah, seduh
cemas, haru; biarlah hatiku sendiri yang mengantar pergiku


1964

Sumber:
Jakarta dalam Puisi Indonesia, Ed. Ayip Rosidi, Dewan Kesenian Jakarta, cetakan pertama, 1972.



----------------------------------------------------

JAKARTA DI BAWAH HUJAN

jakarta di bawah hujan, lampu demi lampu laksana dalam impian
sunyi hatiku seperti bukit, orang-orang bergerak bagai mainan;
ketika semakin reda tersembul aneka suara
terjebak dalam sajakku, suasana dalam sebuah suasana

sepiku seperti bukit, mereka pun bergerak-gerak di bawah renyai gerimis
noktah-noktah yang selalu gelisah antara tawa dan tangis;
o mari ke mari para wargakota yang baik, akulah orang asing itu
tersesat di sebuah kota yang riuh, berkiblat ke mana tak tahu

barangkali gerimis ini telah turun buatku, atas kotamu
suara yang berulang-ulang dan mendingin jauh dalam hatiku.
langkah-langkah sepatu di tepi jalan percik air bagai sulapan
sibuk dalam kesibukan, kabur terbenam ke dalam kelam;
jakarta renyai gerimis, sunyi hatiku bagai bukit batu
cahya mengerdip dalam suasana oo terjerat dalam sajakku


1964

Sumber:
Jakarta dalam Puisi Indonesia, Ed. Ayip Rosidi, Dewan Kesenian Jakarta, cetakan pertama, 1972.

www.Dunia Puisi.110mb.com