Goenawan Mohamad

PENANGKAPAN SUKRA

..................Variasi atas Babad Tanah Jawi

Namaku Sukra, lahir di Kartasura, 17..., di sebuah pagi
Selasa Manis, ketika bulan telah berguling ke balik gunung.

Waktu itu, kata orang, anjing-anjing hutan menyalak panjang,
tinggi, dan seorang abdi berkata, “Ada juga lolong serigala
ketika Kurawa dilahirkan.”

Bapakku, bangsawan perkasa itu, jadi pucat.

Ia seolah menyaksikan bayang-bayang semua pohon berngkat
Pergi, tak akan kembali.

Pada umurku yang ke-21, aku ditangkap.

Debu kembali ke tanah
Jejak sembunyi ke tanah
Sukra diseret ke sana
Seluruh Kartasura tak bersuara

Sang bapak menangis keapda angin
Perempuan kepada cermin
“Raden, raden yang bagus,
pelupukku akan hangus!”
Justify Full
Apa soalnya? Kenapa aku mereka tangkap tiba-tiba?
Para prajurit itu diam, ketika mataku mereka tutup.
Kuda-kuda bergerak. Aku coba rasakan arah dan jarak. Tentu
saja tak berguna.

Pusaran amat panjang, dan tebakan-tebakan amat
sengit, dalam perjalanan itu.
Sampai akhirnya iringan berhenti.
Tempat itu sepi.

“Katakanlah, ki sanak, di manakah ini.”
“Diamlah, Raden, tuan sebentar lagi
akan mengetahuinya sendiri.”

Ada ruang yang tak kulihat.
Ada gema meregang di ruang yang tak kulihat.

Kemudian mataku merkea buka. Lalu kulihat pertama kali
gelap sehabis senja.

Aku pun tahu, setelah itu
tentang nasibku. Malam itu Pangeran, Putera Mahkota
telah menghunus kehendaknya.

Siapakah yang berkhianat
Kelam atau kesumat?
Kenapa nasib tujuh sembilu
Menghadang anak itu

“Tahukah kau, Sukra, kenapa kau kuperintah dibawa kemari?”
(Suara-suara senjata berdetak ke lantai)

“Tidak, Gusti.”
“Kausangkau kau pemberani?”

Aku tak berani. Mata Putera Mahkota itu tak begitu nampak,
tapi dari pipinya yang tembam kurasakan geram saling mengetam,
mengirim getarnya lewat bayang-bayang.

Suara itu juga seperti melayang-layang.

“Kau menantangku.”

Kuku kuda terdengar bergeser pada batu.

“Kau menghinaku, kaupamerkan kerupawananmu, kauremehkan
aku, kaupikat perempuan-perempuanku, kaucemarkan
kerajaanku. Jawablah, Sukra.”

Malam hanya dinding
Berbayang-bayang lembing.

“Hamba tidak tahu, Gusti.”

Bulan lumpuh ke bumi
Sebelum parak pagi.

“Pukuli dia, di sini!”

Duh, dusta yang merah
Kau ingin cicipi asin darah

“Masukkan semut ke dalam matanya!”

Seluruh Kartasura tak bersuara


1979

Sumber:
Sajak-sajak Lengkap Goenawan Mohamad 1961-2001, Metafor Publishing, Jakarta, Agustus 2001.



----------------------------------------------------

KWATRIN TENTANG SEBUAH POCI

Pada keramik tanpa nama itu
kulihat kembali wajahmu
Mataku belum tolol ternyata
untuk sesuatu yang tak ada

Apa yang berharga pada tanah liat ini
selain separuh ilusi?
sesuatu yang kelak retak
dan kita membikinnya abadi

1973

Sumber:
Sajak-sajak Lengkap Goenawan Mohamad 1961-2001, Metafor Publishing, Jakarta, Agustus 2001.



----------------------------------------------------

GATOLOCO

Aku bangun dengan 7.000.000 sistem matahari
bersatu pada suatu pagi

Beri aku es! teriakku,
Tiba-tiba kulihat Kau di sudut itu.

Keringatku tetes, Gusti, apakah yang telah terjadi?
“Tak ada yang terjadi. Aku datang kemari.”

Memang kamar seperti dulu kembali.
Kulihat kusam sawang pada kisi-kisi.

Kulihat bekas hangus, tahi tikus.
Kulihat mata kelelawar.

Kulihat puntung separuh terbakar.
Kulihat hitam kayu oleh lampu, dan wajahku
pada kaca almari itu.

Tapi di luar tak ada angin, hanya awan lain.
Tak ada getar, hanya gerak. Tak ada warna,
hanya cahaya. Tak ada kontras, hanya ....

“Jangan cemas,” gurau-Mu. “Aku tak ‘kan menembakkan pistol
ke pelipismu yang tolol.”

Tapi Kau datang kemari untuk menggugatku.
“Jadi kau tahu Aku datang menggugatmu.”

Mimpikah aku? Mengapa tak tenang tempurung kepala
oleh celoteh itu?

“Celoteh dan cerewetmu!” tiba-tiba Kau menudingku.

Sesaat kudengar di luar gerimis kosong, sekejap
lewat bukit yang kosong. Sesaat kudengar suaraku.

Ah, kefasihanku. Tiba-tiba aku membenci itu.
Aku memang telah menyebut nama-Mu.

“Kau tak menyebut nama-Ku, kau menyebut namamu.”
Makin suram kini suara-Mu.

Hei, berangkatlah dari sini! Aku tahu ini hanya mimpi!
“Tidak. Ini bukan mimpi.”

Kalau begitu inilah upacara-Mu.
“Benar, inilah upacara-Ku.”

Ya, barangkali aku telah tak peduli selama ini.
Tapi apakah apakah yang Kau kehendaki? Mengembalikan posisiku
pada debu, kembali?

“Tidak. Tapi pada kolong dan kakerlak, pada kitab
dan kertas-kertas dan kepinding yang mati setiap pagi hari.
Padamu sendiri.”
Kini aku tahu. Aku milik-Mu.
“Dan Aku bukan milikmu.”

Aku memang bukan santri, bukan pula ahli.
“Mengapa kau kini persoalkan perkara itu lagi?
Kau hanya pandai untuk tak mengerti.”

Oke. Kini aku mencoba mengerti. Ternyata Kau tetap
ingin mengekalkan teka-teki dan mengelak dari setiap ujung
argumentasi. Tapi mengapa kau tetap di sini?

“Sebab kulihat matamu basah dan sarat.”
Ah, begitukah yang Kau lihat?

Kulihat memang garis-garis yang kuyup bertemu dengan
garis-garis yang kuyup. Butir-butir yang miskin berkeramas
dalam butir-butir yang miskin. Ada garis-garis buram,
seolah kelam terkena oleh bulan.

Dan kurasa angin terjirat. Kudengar hujan yang gagal.
Langit berat. Dan paans lembab dalam ruang yang sengal.

“Agaknya telah sampai kini batasmu.”
Aku tahu.

“Artinya dari kamar ini kau tak akan berangkat lagi.”
Artinya dari kamar ini mungkin aku tak berangkat lagi.

“Kau tak bisa lagi memamerkan-Ku.”
Aku tak bisa lagi memamerkan-Mu.

“Tak bisa berkeliling, seperti penjual obat, seorang pendebat.”
Tak bisa lagi berkeliling.

“Tak bisa lagi bersuara tengkar dari seminar ke seminar,
memenangkan-Ku, seperti seorang pengacara. Sebab kau hanya
pengembara, yang menghitung jarak perjalanan, lelah tapi
pongah, dengan karcis dua jurusan.”

Sebab aku hanya seorang turis, tak lebih dari itu?
Gusti, beranjaklah dari sini. Telah Kau cemoohkan tangis
pada mataku.


1973

Sumber:
Sajak-sajak Lengkap Goenawan Mohamad 1961-2001, Metafor Publishing, Jakarta, Agustus 2001.



----------------------------------------------------

TENTANG SEORANG YANG TERBUNUH DI SEKITAR HARI PEMILIHAN UMUM

“Tuhan, berikanlah suara-Mu, kepadaku.”

.....Seperti jadi senyap salak anjing ketika ronda menemukan
mayatnya di tepi pematang. Telungkup. Seperti mencari harum dan
hangat padi, tapi bau asing itu dan dingin pipinya jadi aneh, di bawah
bulan. Dan kemudian mereka pun berdatangan – senter, suluh, dan
kunang-kunang – tapi tak seorang pun mengenalinya. Ia bukan
orang sini, hansip itu berkata.

“Berikanlah suara-Mu.”

.....Di bawah petromaks kelurahan mereka menemukan liang luka
yang lebih. Bayang-bayang bergoyang sibuk dan beranda meninggalkan
bisik. Orang ini tak berkartu. Ia tak bernama. Ia tak berpartai. Ia tak
bertanda gambar. Ia tak ada yang menangisi, karena kita tak bisa
menangisi. Apa gerangan agamanya?

“Juru peta yang Agung, di manakah tanah airku?”

.....Lusa kemudian mereka membacanya di koran kota, di
halaman pertama. Ada seorang yang menangis entah kenapa. Ada
seorang yang tak menangis entah mengapa. Ada seorang anak yang
letih dan membikin topi dari koran pagi itu, yang diterbangkan angin
kemudian. Lihatlah. Di udara berpasang layang-layang, semua
bertopang pada cuaca. Lalu burung-burung sore hinggap di kawat-
kawat, sementara bangau-bangau menuju ujung senja, melintasi
lapangan yang gundul dan warna yang panjang, seperti asap yang
sirna.

“Tuhan, berikanlah suara-Mu, kepadaku.”


1964

Sumber:
Sajak-sajak Lengkap Goenawan Mohamad 1961-2001, Metafor Publishing, Jakarta, Agustus 2001

----------------------------------------------------

ASMARADANA

Ia dengar kepak sayap kelelawar dan guyur sisa hujan dari daun, karena
angin pada kemuning. Ia dengar resah kuda serta langkah pedati ketika
langit bersih kembali menampakkan bimasakti, yang jauh. Tapi di
antara mereka berdua, tidak ada yang berkata-kata.

Lalu ia ucapkan perpisahan itu, kematian itu. Ia melihat peta, nasib,
perjalanan dan sebuah peperangan yang tak semuanya disebutkan.

Lalu ia tahu perempuan itu tak akan menangis. Sebab bila esok pagi
pada rumput halaman ada tapak yang menjauh ke utara, ia tak akan
mencatat yang telah lewat dan yang akan tiba, karena ia tak berani lagi.

Anjasmara, adikku, tinggallah, seperti dulu.
Bulan pun lamban dalam angin, abai dalam waktu.
Lewat remang dan kunang-kunang, kaulupakan wajahku,
kulupakan wajahmu.


1971

Sumber:
Sajak-sajak Lengkap Goenawan Mohamad 1961-2001, Metafor Publishing, Jakarta, Agustus 2001.



----------------------------------------------------

KWATRIN MUSIM GUGUR

1
Di udara dingin proses pun mulai. Malam membereskan daun-daun
menyiapkan ranjang mati.
Hari akan melengkapkan tahun
sebelum akhirnya pergi.

2
Kini akan habis matahari
yang membujuk anak ke pantai
Tinggal renyai
Warna berganti-ganti. Dan Engkau tak mengerti

3
Pada kalender musim pun diam
Pada kalender aku pun bosan.
Di bawah daun-daun merah, bersembunyi jejak-Mu singgah
Sunyi dan abadi. Musim panas begitu megah.

4
Kabar terakhir hanya salju
Suara dari jauh, dihembus waktu
Kita tak lagi berdoa. Kita tak bisa menerka
Hanya ada senja, panas penghabisan yang renta


1967-1968

Sumber:
Sajak-sajak Lengkap Goenawan Mohamad 1961-2001, Metafor Publishing, Jakarta, Agustus 2001.



----------------------------------------------------

HARI TERAKHIR SEORANG PENYAIR, SUATU SIANG

Di siang suram bertiup angin. Kuhitung pohon satu-satu
Tak ada bumi yang jadi lain: daun pun luruh, lebih bisu
Ada matahari lewat mengendap, jam memberat dan hari menunggu
Segala akan lengkap, segala akan lengkap, Tuhanku

Kemudian Engkau pun tiba, menjemput sajak yang tak tersua
Kemudian hari pun rembang dan tanpa cuaca
Siang akan jadi dingin, Tuhan, dan angin telah sedia
Biarkan aku hibuk dan cinta berangkat dalam rahasia


1964

Sumber:
Sajak-sajak Lengkap Goenawan Mohamad 1961-2001, Metafor Publishing, Jakarta, Agustus 2001.



----------------------------------------------------

PARIKSIT

Pariksit menunggu hari segera lewat.
Orang-orang pun menunggu batas waktu kutukan Crengi kepadanya berakhir,
hingga baginda bebas dari ancaman kebinasaan oleh Naga Taksaka. Saat
itu hari dekat senja. Raja muda yang disembunyikan di puncak menara itu
tengah tegak, merapatkan diri ke tingkap. Angin bangkit.

..........I
.......Dari rahim waktu, aku tahu kutukan bangkit
ke arah dadaku. Angin masih juga menimpa
dinding menara, penjara dari segala penjara:
ia yang lahir dari busur langit
dan jatuh berpusar ke arah tubuhku yang sendiri.
.......Angin yang purba, yang
semakin purba: dingin dan asing.

.......Jauh di bawahku terpacak rakyatku
menunggu. Mereka yang menyelamatkan, dan juga
menyiksa diriku. Mereka yang mendoa, sementara
aku tiada berdoa. Mereka kini yang punya angin-angin
sendiri, hujan-hujan sendiri, dan duka cita yang
sendiri. Mereka yang tak tahu
kita tak bisa berbagi.
.......(Tapi siksa ini adalah siksa mereka, siksa
mereka yang kuwakili di atas kelemahan tangan-tanganku)

Kini kuhirup bau senja, bau kandil-kandil
dan pesta: pesta pembebasan, tapi juga serapah malu
akan kecut hatiku. Bau yang sunyi, teramat sunyi.
.......Seperti sunyi ini yang menyilangkan kakinya
menantang padaku.

..........II
.......Menara penjara, dan penyelamat jasadku.
Tinggi ia menghujat bumi, mendamik dada ke langit:
keangkuhan besar ke tengah maha alam yang besar.
Karenanya, langit yang sarat warna tiada lagi
tempatku. Dan bumi gemetar meninggalkanku

.......Kini telah kupilih, sebab keluarga dan
rakyat yang kukasih, keselamatan jasadku.
Kini telah kupilih, karena takutku, hari-hari
yang tak memerdekakan hatiku.
.......Dan telah kuhindari Maut, mautku sendiri.

.......Barisan burung-burung yang kian jauh
seakan-akan menyingkirkan diri dari kotaku yang
sepi. Kota yang berbatas gurun, berbatas rimba serta
rumah-rumah pertapa. Kota yang melenguhkan hidup
bila musim pun rekah, dan yang juga melenguhkan hidup
bila tahun-tahun mengatupkan pintu-pintunya.
.......Aku telah lama bernafas dari kandungannya.
.......Telah lama.

Aswatama, mengapa tak kau bunuh dulu
bayi itu? Mengapa kau lepaskan aku?

..........III
.......Maka segeralah senja ini penuh dan
titik mentari terakhir jatuh. Dan kutuk itu datang,
membinasakan dan melebur daku jadi abu.

.......Bukan kegelisahan dahsyat yang hendakkan
semua itu. Bukan siksa menunggu yang menyuruhku.
Tapi kurindukan kemenangan-kemenangan, kemenangan
yang mengalahkan kecut hatiku.

.......Karena memang kutakutkan selamat tinggal
yang kekal. Seperti bila dari tingkap ini
kuhembuskan nafasku dan tak kembali
tanpa burung-burung, tanpa redup sore di pohon-pohon
tanpa musim, tanpa warna, yang menyusup
kulit tubuhku. Juga tanpa laut, yang
jauh menyimak matahari, rimba ddan hewan-hewan meriah.
.......Seperti bila langit dan titik-titik bintang
yang halus pun raib bersama harummu, perempuan
dalam telanjang dini hari

.......Pada akhirnya kita
tak senantiasa bersama. Ajal
memisah kita masing-masing tinggal.

..........IV
.......Wahai, adalah dia? (Berderak tingkap tiba-tiba:
tapi angin yang kian dingin yang menguap padaku – angin
dan angin senantiasa.)
.......Jika saja aku selamat, saudaraku, ketika nanti
saat itu lalu, akan masih saja kudukung kiamat dalam
diriku. Pohon-pohon menyambutku, hewan-hewan akan lagi
kuburu: tapi sepi akan tumpah ke nadi-nadiku. Karena
aku telah dibebaskan, tapi juga tak dibebaskan.
.......Dan tak kukenal wwajahku kembali.

.......Di ruang ini, kunobatkan ketakutanku. Di menara ini
kuikat hidup-hidup kehadiranku: begitu sunyi, terenggut
dari alam dan nasibku sendiri.
Maka, Taksaka, leburlah aku dalam seribu api!
Dan mati.

..........V
.......Demi matiku, kutunjukkan padamu segala
Yang tak sia-sia ini.
Ketika tiada pernah kubunuh diriku, dan tiada pernah
kuingkari. Dan siksa yang telah diwakilkan padaku,
kudekapkan pada Maut: dan segalanya pun terurai,
seperti musim bunga.
.......Dan di sana kulihat, juga kau lihat:
jentera-jentera yang berbisik ke laut,
berbisik, seperti burung-burung yang mencecah
dan degup demi degup darah
Lalu terasa: di ruang abadi ini
kita akan selalu pergi
dalam nafas panas
yang santai.
Dan setiap kali malam pun tumbuh, juga pagi, siang
dan senja,
dan setiap kali demikian baka, tapi demikian fana
seperti bulan tumbuh
dan cemara
menggigil dingin ke udara.


1963

Sumber:
Sajak-sajak Lengkap Goenawan Mohamad 1961-2001, Metafor Publishing, Jakarta, Agustus 2001.



----------------------------------------------------

MEDITASI

.......................dalam tiga waktu

Apa lagikah yang mesti diucapkan
dalam gaung waktu bersahutan?
Di empat penjuru
malaikat pun berlagu, lewat kabut
dan terasa
hari berbisik

.......Ada sekali peristiwa
.......di relung-relung gua Hira
.......terdengar seru:
.......“Bacalah dengan nama Tuhanmu”

Maka terbacalah.
Tapi terbaca juga sepi ini kembali,
menggetar, pada senyum penghabisan
dan terjatuh dalam sajak,
sajak yang melambaikan tangan, terbuka
dan bicara dengan senja di atas cakrawala:
ada sesuatu yang terpandang bening
dalam diriku, antara dinding,
di mana terbubuh nama-Mu,
yang menjanjikan damai itu.

Bila langit pun kosong, dan berserakan bintang
mengisinya, tidakkah akan kami gelisahkan, Tuhan
segala ini? Tidakkah semacam duka
untuk memburu setiap kata, setiap dusta
tentang kejauhan-Mu, tentang rahasia?
Sebab Engkaulah arah singgah
yang penuh penjuru
seperti bumi, hati dan mungkin puisi
yang berkata lewat sepi, lewat usia
kepadaku

Maka siapkan waktu
dengan suara-Mu tegap
yang sediam kabut
detik-detik darah tersekap
Sementara baringkan
kota dalam tidur jauh malam

Berikan pula antara kami diam ini
percakapan tiada sedih. Hanyalah malam
yang makin tebal bila larut. Hanyalah lengang
yang terentang di ruang kusut. tapi kami yang diam
bisa bicara, tuhan, dalam selaksa warna-warni
Dan tak ada perlunya sorga, dalam kemerdekaan seperti ini
yang terhuni
suara-suara sendiri.
Tak ada perlunya sorga yang jauh
yang pasi dingin menyintuh:
tanah yang dijanjikan
dan telah ditinggalkan

Memusat matahari di bumi yang siang
Terpukau air kemarau, rumputan kering di padang-padang
Ini pun satu salam, dan kami mengerti
jauh dari indera yang telanjang. Di tepi-tepi
mencecah terik: Namun di manakah sedih, suara fana,
antara bisik-bisik jantung yang mengungkapkan kata-kata?

.......Ada sekali peristiwa
.......di relung-relung gua Hira
.......terdengar seru:
.......“Bacalah dengan nama Tuhanmu”

Maka berikanlah sunyi itu kembali
Sebab kami mengerti: Engkau tak hendakkan
kami terima sedih alam ini,
alam yang sendiri,
yang terhampar jauh, sahabat tak terduga
Kabarkan: Apa lagikah yang akan terucapkan,
dalam gaung waktu bersahutan
yang begini damai, senyap,
Tuhan, begini menyekap


1962

Sumber:
Sajak-sajak Lengkap Goenawan Mohamad 1961-2001, Metafor Publishing, Jakarta, Agustus 2001.



----------------------------------------------------

DI MUKA JENDELA

Di sini
cemara pun gugur daun. Dan kembali
ombak-ombak hancur terbantun.
Di sini
kemarau pun menghembus bumi
menghembus pasir, dingin dan malam hari
ketika kedamaian pun datang memanggil
ketika angin terputus-putus di hatimu menggigil
dan sebuah kata merekah
diucapkan ke ruang yang jauh: -Datanglah!

Ada sepasang bukit, meruncing merah
dari padang-padang yang tengadah
rumah padang-padang tekukur
di mana tangan-hatimu terulur. Pula
ada menggasing kincir yang sunyi
ketika senja mengerdip, dan di ujung benua
mencecah pelangi:
Tidakkah siapa pun lahir kembali di detik begini
ketika bangkit bumi,
sajak bisu abadi,
dalam kristal kata,
dalam pesona?


1961

Sumber:
Sajak-sajak Lengkap Goenawan Mohamad 1961-2001, Metafor Publishing, Jakarta, Agustus 2001.



duniapuisi.110mb.com