Rabu, 12 Oktober 2011

Karya Lain Emha2


Jamaah Maiyah

Spirit Emha

Ditulis oleh: Irene Ritchie dan Endah Suseno

Saya duduk membonceng di atas sebuah sepeda motor yang meluncur dari kota budaya Yogyakarta di Jawa, Indonesia, untuk menghadiri pertemuan bulanan yang diselenggarakan oleh Emha Ainun Nadjib, seorang kiai dinamis dan berpengaruh. Kami menyusuri jalan yang lumayan jauh meninggalkan kawasan utama kota. Sedemikian sepi saat itu sehingga kami pikir mungkin acara telah dibatalkan. Tetapi, sejauh mata bisa memandang, tiba-tiba kami melihat ratusan mungkin ribuan sepeda motor terparkir di sebuah tempat.
“Kita sudah menemukan pertemuan itu!” seru Endah Suseno. Memang kami telah menemukannya dan wow betapa sebuah pertemuan yang besar. Rangkaian acara belum dimulai tetapi saya menikmati atmosfer kedamaian ribuan orang terutama kaum muda kisaran usia 18 dan 32 tahun yang menunggu dalam kesunyian meditatif, menyimak lantunan al-Quran oleh dua orang pembaca dan bersiap-siap menyambut kehadiran Emha atau Cak Nun (sapaan akrabnya) serta grup musik KiaiKanjeng. Perhelatan itu berlangsung hingga pukul tiga dini hari di sebuah tempat terbuka. Merupakan pengalaman tersendiri berada di sana dan sekalipun bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa yang tidak saya pahami, atmosfer di sana cukup bagi saya untuk merasakan pengaruh mendalam yang dimiliki Cak Nun atas generasi muda tersebut.
Kami bertemu dengannya beberapa minggu kemudian untuk melakukan wawancara mengenai pendapat-pendapat terbarunya ihwal politik, istilah-istilah, dan isu-isu keislaman di Indonesia saat ini; yakni gagasan-gagasan yang lazimnya disalahpahami di dunia Barat. Semangat yang dibangun Emha adalah kerendahan hati (humility), yang di dalam kamus Oxford didefinisikan sebagai sifat-sifat tidak pretensius, lembut, dan sederhana. Seluruh pandangan Emha mengekspresikan kelembutan dan karakter sopan, baik, dan penuh kasih sayang. Berikut sejumlah pertanyaan yang saya kemukakan dan respons yang Emha berikan.
Saya bertanya kepadanya apakah orang bisa mengikuti Islam dan berpartisipasi di dalam demokrasi dan pemerintahan, dan ia menjawab bahwa hal itu angat mungkin. Tidak ada yang menghentikan orang Islam dari berpikir dan mencari pembahasan-pembahasan alternatif mengenai banyak hal. Islam adalah suatu sistem nilai sehingga ia bisa menjadi landasan bagi seluruh hidup. Ada istilah di dalam Islam yaitu Ijtihad yang berarti melakukan atau berpikir agar kehidupan anda berjalan dengan baik. “Jika anda percaya itu akan membantu anda, lakukanlah. Bagi seorang muslim, sangatlah mungkin hidup di dalam sebuah demokrasi. Jika dia tidak menginginkannya, dia bisa cukup hidup untuk dirinya sendiri atau untuk keluarganya atau dia bisa memilih untuk hidup di dalam keluarga dunia/semesta. Dia bebas memilih.”
Saya sangat tertarik untuk mengetahui apakah Islam akan meningkat citranya di Barat jikalau ada sebuah sentral institusi keagamaan atau badan Islam sedunia, yang akan berbicara kepada seluruh umat Islam tatkala terjadi pengeboman. “Secara teoritis mungkin saja, tetapi secara praktis sangat sulit,” jelas Emha. “Kenyataan itu tidak akan tiba sebab semua orang Islam memiliki tradisi mereka sendiri dan sulit rasanya membuat satu kelompok yang representatif bagi semua kelompok. Perbedaan tidak salah di dalam Islam. Akan lebih baik kalau kita berendah hati di dalam perbedaan yang kita punya. Tidak ada yang merepresentasikan saya. Saya tidak merepresentasikan anda dan anda juga tidak merepresentasikan saya. Istri saya punya pandangan yang berbeda kepada saya. Itu harus diserahkan kepada keputusan Allah. Anda bisa menafsirkan apa yang anda mau. “Isme” adalah untuk satu pihak dan bukan untuk pihak lain. Misalnya Sufisme, Wahhabisme, dan ada banyak jalan, dan bisa sebanyak jumlah orang Islam di dunia, dan itu oke-oke saja. Berendah-hatilah satu sama lain. Toleranlah satu sama lain sebab kita semua adalah manusia. Begitulah cara saya menjalani hidup saya.”
Saya teringat sebuah petikan dari al-Quran 25: 63 yang mengatakan, “Dan hamba-hamba Allah yang maha Rahman adalah mereka yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang bodoh berbicara dengan mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang mengandung keselamatan (salama)”.
Pertanyaan saya selanjutnya menyangkut apakah Barat memiliki peran dalam pengembangan demokrasi Muslim. Emha mengetengahkan bahwa seharusnya manusia bersikap demokratis kepada semuanya dan tak hanya kepada manusia melainkan terhadap semua makhluk Allah. Ada ungkapan bahwa semua ciptaan/makhluk di muka bumi mempunyai manfaat.
Saya tertarik pada pandangan Emha mengenai sebab utama radikalisme di dalam Islam. Ia menegaskan bahwa kadangkala orang-orang radikal tidak memiliki gagasan-gagasan yang sama dengan opini-opini mainstream dan kemudian mereka bertengkar dan beradu pendapat. “Marilah duduk bersama dan berendah hati. Rasulullah Muhammad tak pernah berbicara sebagai kiai atau guru. Beliau menyebut orang-orang di sekitarnya dengan sebutan Sahabat yang berarti teman dekat. Tidak ada struktur di dalam Islam. Yang ada hanyalah Allah–Muhammad–Manusia (kita). Tatkala ulama berada di antara ketiganya, maka ulama tersebut akan mengganggu manusia. Emha tidak memandang dirinya tengah mencoba lebih populer ketimbang Nabi Muhammad. Ia mengingatkan kita bahwa pada saat Nabi Muhammad wafat hanya ada enam orang yang berangkat ke pemakaman dan dengan mengingat hal ini tentu membuat kita rendah hati. Emha berkata, “duduklah bersama, rendah hatilah satu sama lain, dan belajarlah bersama. Sebagaimana al-Quran mengatakan dalam 7:161
“Diamlah di negeri ini saja dan makanlah di mana pun kalian mau, dan katakanlah ‘bebaskanlah kami dari dosa-dosa kami dan masukilah pintu gerbangnya sembari membungkuk, Niscaya Kami ampuni kesalahan-kesalahanmu. Kelak akan kami tambah pahala bagi orang-orang yang berbuat baik”.
Saya ragu apakah istilah “moderat” adalah tepat bagi umat Islam. Emha mengatakan bahwa kadang-kadang orang melihat Islam dalam cara yang salah melalui kebodohan. Ketika mereka menyentuh seekor gajah pada belalainya, mereka bilang: “O…gajah itu kecil dan panjang; …Dalam cara yang sama, mereka tidak melihat Islam secara benar. Fundamentalisme di dalam Islam itu ya lima rukun Islam: Syahadat-Shalat-Shiyam-Zakat-Haji. Islam memberi ajaran bahwa lebih baik mengambil jalan tengah, sehingga diri Anda tidak terlalu bahagia tetapi juga tidak terlalu sedih; jangan makan terlalu sedikit, tetapi juga jangan terlalu banyak. “Ingatlah hari akhir/akhirat. Itulah cara orang Barat melihat Islam dan begitu pulalah cara kita melihat orang Barat. Rendah hatilah, cintai semuanya. Jangan terlalu berlebihan dalam hal-hal apapun saja yang terjadi. Beradalah pada posisi tengah-tengah sehingga orang-orang Islam bisa menyatakan diri sebagai orang yang “berada di tengah.” Pandangan Emha ini didasarkan pada al-Quran dan saya langsung teringat surat 57:16:
“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang beriman untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun kepada mereka….”
Emha menyatakan apa yang paling dia kagumi mengenai Indonesia adalah bahwa Muslim di Indonesia itu tidur terlalu lama tetapi mereka memiliki potensi. Ia menjelaskannya dalam cara seperti ini:
  1. Ada orang yang mengerti dan mengerti bahwa mereka mengerti.
  2. Ada orang yang mengerti tetapi dia tidak mengerti bahwa dia mengerti. Bangunkanlah dia!
  3. Kemudian ada orang yang mengerti bahwa dia tidak mengerti. Belajarlah dan bangunlah!
  4. Ada orang yang tidak mengerti dan tidak mengerti bahwa dia tidak mengerti.
  5. Kemudian ada orang yang tidak mengerti dan tidak mengerti bahwa dia tidak mengerti tetapi belagak seolah-olah dia mengerti. Yang kelima ini hanya ada di Indonesia.”
Saya berharap mengetahui apakah Emha merasa ada batas-batas untuk bicara bebas misalnya mengenai kartun Nabi Muhammad yang dibuat orang Denmark yang menyulut kemarahan. Haruskah itu dibiarkan oleh negara? Emha merespons bahwa dirinya telah mengatakan kepada umat Islam, “orang akan merasa tidak nyaman… karena Muhammad, Nabi mereka, dihina. Mereka yang mencintai Muhammad akan marah. Cara saya merespons hal ini adalah bertanya kepada umat Islam bagaimana jika Nabi Muhammad melihat hal ini, apa yang ada dalam benak Beliau? Saya yakin Nabi akan tersenyum dan memaafkan mereka. Tidak seorang pun mengatakan Nabi akan marah, maka kita yakin Nabi akan tersenyum. Itulah cara Nabi Muhammad. Saya suka membayangkan bagaimana Nabi Muhammad akan mendekati hal itu. Nabi Muhammad akan tersenyum dan memaafkan, dan begitulah yang saya coba.
Haji ke Mekkah adalah salah satu pilar penting agama Islam dan saya sangat ingin tahu apa aspek terpenting dari haji menurut Emha. Ia menuturkan bahwa haji adalah ibadah yang khusus, dan orang mengatakan ketika anda pergi haji, semoga anda menjadi haji mabrur. Tujuan haji adalah menjadi pribadi yang lebih baik dan seorang muslim yang lebih baik. Emha mengingatkan kita bahwa ada lima jenis kebaikan:
  1. al-Khoir: kebaikan murni atau umum dari Allah.
  2. al-Ma’ruf: kebaikan dalam wilayah sosial.
  3. al-Biir: kebaikan pada diri seseorang untuk menjadi lebih baik.
  4. al-Ihsan: kebaikan di mana anda sebenarnya tidak harus melakukan sesuatu tetapi anda melakukannya. Anda tidak wajib menolongnya tetapi anda melakukannya. Ini harus muncul dari dalam diri anda sendiri.
  5. al-Sholeh: kebaikan yang diterapkan dalam semua aspek kehidupan meliputi ranah politik, sosial, dan budaya. Bisa jadi sesuatu itu baik tetapi sekaligus juga bikin orang marah. Jika seseorang meneriakkan “Allahu Akbar Allahu Akbar”, itu bisa membuat sejumlah orang marah sehingga tidak seharusnya itu dilakukan. Orang harus peka terhadap penggunaan bahasa. Anda seharusnya mencintai orang, mencintai keluarga, dan mencintai anak-anak. Anda perlu mendiskusikan cara anda mencintai. Menerapkan cinta itulah yang disebut Mabrur.
Contoh untuk nomor 4 adalah tatkala seseorang memukul anda, tentu saja anda punya hak untuk membalasnya, tetapi jika anda tidak melakukannya dan anda memaafkannya, inilah kebaikan yang luar biasa. Contoh untuk nomor 5 adalah menerapkan kebaikan dalam lingkungan sosial. Menggunakan kemampuan berpikir anda dan mencoba memperkecil efek atau dampak buruk. Haji adalah cara termudah untuk mencapai jenis kebaikan ini.
Saya ingin sekali mengetahui arti Islam dalam kehidupan Emha pada saat sekarang ini. Ia mengatakan, “Kalau anda tanya saya apakah saya bahagia dengan Islam, saya tidak perlu mengatakan hal itu. Anda bisa melihatnya pada kedua mata saya. Saya tak ingin melukai orang. Saya tak ingin menunjuk-nunjukkan. Kalau saya bilang “ya, Islam sangat penting itu berarti menunjuk-nunjukkan dan itu bisa menyakiti orang. Maka, saya tidak mencari Islam dari apa yang saya lakukan, tetapi perolehlah itu dari pengamatan-pengamatan dalam. Islam adalah input saya, bukan output saya. Jika saya memberikan sejumlah output, saya tidak menyebut Islam dan tak ingin menunjukkan bahwa itu Islam. Karena itu, Islam masuk ke setiap hal yang anda lakukan dan anda tak perlu mengatakan apapun mengenai itu. Saya tak mau menyakiti orang jika saya katakan ini Islam. I’am OK with Islam. Ungkapan ini, di dalam agama, sama dengan kalau kita punya seorang istri. Saya bisa menunjukkan dia, tetapi saya tak mau memperlihat-lihatkannya karena bisa menyakiti orang lain. Pemahaman ini berlaku untuk empat jenis perkawinan:
  1. Pria dan wanita.
  2. Pemerintah/raja dengan rakyatnya.
  3. Manusia dan alam di mana manusia bersikap baik kepada alam dan binatang.
  4. Tuhan dan makhluk-Nya, dan Tuhan adalah “suami” yg sangat baik. Ia memberikan segalanya, dan sudah berlangsung sangat lama, dan yang Ia minta sebagai imbalannya adalah shalat. Ia tidak meminta Musa atau Ibrahim atau Isa untuk melakukan ini; hanya Muhammad. Ia meminta shalat lima kali sehari. Shalat tidak memakan waktu lebih dari setengah jam. Itu saja yang Allah minta. Itu artinya Allah memberi kita 23,5 jam seluruhnya. Ia suami yang baik. Karena Dia hanya meminta setengah jam dari kita, tentunya itu tidak terlalu berat. Jika anda lupa, okelah. Anda dimaafkan. Jika anda tak bisa shalat dengan berdiri, anda boleh melakukannya sembari duduk. Jika anda tak bisa duduk, anda boleh sambil rebah. Jika anda tak bisa rebah, anda boleh shalat dengan kedua mata anda. Jika anda tak bisa menggerakkan mata anda, lakukan shalat itu dalam hati anda. Dan, jika anda bisa melakukannya berarti anda sedang lelah. Tetapi itu sangat murah. Kita punya hak untuk meminta begitu banyak hal. Kita terus meminta dan meminta dan meminta.
Di komunitas saya, saya menjelaskan bahwa do’a (memohon dan mengingat Allah) secara etimologis tidak berarti meminta melainkan menyapa. Doa adalah sapaan. Orang yang sedang berdoa adalah orang yang sedang menyapa Allah untuk memohon sesuatu. Menyapa itu mirip dengan memohon tetapi lebih halus dan lebih sopan. Ia bukan rengekan. Di dalam konteks Indonesia, berdoa itu seperti mengucap hai atau hallo. Oke-oke saja mengatakan hallo kepada Tuhan dan kepada Nabi Muhammad, dan ini lebih demokratis. Seharusnya kita tidak terus-terusan meminta. Kita selalu meminta sesuai dengan kemauan kita sendiri. Kadangkala ketika kita meminta, Tuhan sudah punya rencana untuk memberi kita semangka. Terdapat banyak hal ynag tidak kita ketahui menyangkut rencana Allah untuk kita. Kita mungkin tak menyadarinya ketika itu terjadi. Al-Quran 13:15 menyatakan:
“Hanya kepada Allah-lah bersujud segala apa yang ada di langit dan di bumi, baik dengan kemauan sendiri maupun terpaksa, dan begitu pula bayang-bayangnya di waktu pagi dan petang.”
Dalam banyak cara, Islam mengajarkan kepada para pengikutnya untuk bersikap rendah hati, untuk ramah pada sesama manusia dan kepada alam. “Sungguh beruntunglah orang-orang yang beriman, yakni mereka yang khusyuk dalam shalatnya”. (Al-Mukminun 23: 1-2)
“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang beriman untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun kepada mereka….” (Al-Hadid 57:16)
Emha membahas semua jenis kebaikan ini: menahan-diri, disiplin, pengorbanan, sabar, persaudaraan, kemurahan hati, dan yang terbaik dari semua itu adalah kerendahan hati ketika sifat itu bisa masuk ke dalam semua aspek hidup kita dan membantu kita menjadi manusia yang lebih baik dan lebih kuat.
Wawancara dengan Emha Ainun Nadjib dari Yogyakarta Indonesia oleh Irene Ritchie dan Endah Suseno (Februari 2010) termuat dalam Majalah Muslims Australia–Issue 12: Dhul Qaidah/ November 2010 | www.afic.com.au
(Diindonesiakan oleh Helmi/Progress)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar